Fenomena kasus cangkul dan kasus pemerkosaan gadis berusia 14 tahun hingga meninggal menimbulkan kegeraman terhadap pelaku kekerasan yang menurut saya gila tingkat dewa, bentarrrr,,,,bentarrrr, ternyata kasusnya ada lagi didaerah bogor, seorang pelaku memperkosa anak balita berumur 2 tahun sebanyak dua kali hingga tewas, nah kalau ini menurut saya, pelakunya bukan manusia, tapi hewan berwujud manusia, tuntutan atas masyarakat agar mereka para pelaku dapat dihukum berat terjawab pada hari ini tanggal 25 Mei 2015 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden kita dengan kewenangan atributifnya telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. dalam konsiderannya Perppu ini lahir setelah meningkatnya kasus-kasus kekerasan seksual yang terus meningkat dan hukuman berupa sansksi pidana yang diberikan pada pelaku dianggap tidak memberikan efek jera dan belum mampu memberikan dampak/impact pencegahan atas suatu tindakan kekerasan seksual.
sedikit berbagi pengetahuan (tiada gading yan tak retak, jika salah mohon koreksi), terkait Perppu yang telah dikeluarkan oleh Presiden tersebut jika dilihat dari sudut pandang berbeda yaitu pada dasar pembentukannya yang apabila dikaitkan dengan syarat lahirnya suatu Perppu yang tertuang dalam Pasal 12 dan Pasal 22 UUD 1945, sangatlah bersifat subyektif kewangan tersebut, subyektif dalam artian penentuan kondisi kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
Dengan demikian Presiden dapat menentukan suatu kondisi yang berdasarkan sudut pandangnya sendiri bahwa keadaan tersebut menimbulkan kegentingan pada negara sehingga perlu untuk dikeluarkannya suatu peraturan dimana secara hirarki Perppu tersebut meiliki kedudukan sejajar dengan Undang-Undang (Pasal 7 UU Nomor 12/2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan).
Namun jangan lupa juga, bahwa terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) Nomor 138/PUU-VII/2009 yang adakaitnannya dengan pengaturan Hak Preoragitif presiden dalam mengeluarkan Perppu. berdasarkan Putusan MK tersebut, ada tiga syarat yang perlu diperhatikan sebagai parameter adanya “kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan PERPU, yaitu:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;
Jika dikaitkan dengan kondisi negara yang berdasarkan Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan. “Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus untuk seluruh Indonesia[1].
Dari angka tersbut apakah Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden masuk dalam 3 kategori kegentingan yang memaksa yang telah dirumuskan agar kewanangan atributif tersebut tidak selalu bersifat subyetif.
Jika dilihat dari ke 3 syarat tersebut saling berhubungan maka dengan kata lain syarat tersebut bersifat komuliatif, yaitu harus memenuhi 3 unsur kegentingan yang memaksa secara keseluruhan. Dalam konteks lahirnya Perpu nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tidak yang disebutkan dalam pertimbagan pembuatan undang-undang tidaklah memenuhi syarat secara komulatif yang disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi.mengapa?
Dalam konsideran yang disebutkan hanya ada 3 alasan utama lahirnya Perppu tersebut:
a. negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban masyarakat;
c. sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komprehensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, sehingga perlu segera mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
pertanyaanya adalah, 1) Apakah terdapat permasalahan hokum terkait maraknyapeningkatan kasus pelecehan seksual khususnya terhadap anak? 2) apakah negara dalam keadaan yang sangat gawat/genting dimana apabila Perppu tersebut tidak dikeluarkan oleh Presiden maka akah terjadi kokosongan hokum sehingga proses terhadap kasus-kasus pelecehan seksual tidak dapat ditindak? Jawaban dari kedua pertanayaan tersebut adalah “tidak”. Jika ingin menjawab permalsahan seperti yang tertuang dalam konsideran Perppu kita perlu mengetahui ari Faktor Penyebab terjadinya tindakan tindakan kekerasan seksual[2]
a. Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hak anak
b. Pola Asuh/ pendidikan karakter dirumah
c. Kemiskinan dan Lemahnya pengetahuan masyarakat
d. Belum mempunyai Sistem database tentang kekerasan terhadap anak di tingkat provinsi/ kabupaten/kota untuk menscreening potensi tindakan kekerasan di suatu wilayah
e. Penyebaran perilaku jahat antar generasi (efek dari duplikasi/ mencontoh/ meniru)
f. Ketegangan Sosial (Pengangguran, sakit, ukuran keluarga yang besar, kehadiran seorang yg cacat mental dalam rumah, penggunaan alkohol dan obat-obatan.
g. Isolasi Sosial
h. Lemahnya Penegakan Hukum
Dari faktor-faktor yang disebutkan diatas merupakan landasan (filosifis) dari munculnya suatu kekerasan seksual tidak disebutkan bahwa adanya kekosangan ataupun permasalahan terhadap aturan, namun kelemahan terjadi pada tataran law enforcement, sehingga kebijakan mengeluarkan Perppu tersebut perlu menjadi perhatian. Kemudian jika alasan pemerintah bahwa dengan keluarnya Perppu tersebut sebagai salah satu langkah pemerintah mengatasi proses perundangan karena dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa akan memerlukan waktu yang cukup lama, namum perlu diketahui bahwa Perpu ini bersifat non-retroactive yaitu tidak berlaku surut, dan Perpu tersebut haruslah melaui persetujuan oleh DPR dengan bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang dan DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. Sedangkan DPR sendiri telah memiliki Prolegnas Prioritas terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Pekerjaan yang berulang sering dipertontokan, hal ini menunjukan bahwa antara lambaga eksekutif dan legilatif tidak berjalan bersama dalam menjalankan fungsinya lembaganya masing-masing dalam konteks penindakan dan pencegahan terhadap kekerasan seksual di Indonesia.
Lembaga Eksekutif dan Legislatif dapat menjalankan fungsinya secara bersama dalam menghadapi fenomena tersebut dengan memberikan perhatian khusus pada Badan Legislatif dimana Pemerintah maupun masyarakat dapat mendorong terkait RUU anti kekerasan sesksual dapat menjadi Prolegnas Prioritas UTAMA, agar kedua fungsi lembaga tersebut tidak hanya jalan masing-masing agar tidak hanya membuang waktu dan biaya.
[1] Dikutip dari laman Web KPAI http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/ pada tanggal 26 Mei 2016;
[2] Mater Erlinda MPd Komisioner KPAI, “Upaya Peningkatan Anak dari bahaya kekerasan Pelecehan dan Eksploitasi” yang disampaikan dalam acara Selaras Indonesia Initiative
Wah Pak Raid sedang mengembangkan sayapnya mnjdi pengamat politik.. keren2... yang dikatakan pak raid benar.. terbitnya perpu salah satunya adalah dlm ikhwal kegentingan.. jika dilihat dr poin tersebut kondisi indonesia terhadap kasus kekerasan anak adalah fenomena gunung es... yg sebenarnya dr dulu itu sdh banyak terjadi dan baru mencuat saat ini.. jd langkah yg hrs di ambil oleh pemerintah adalah melalukan revisi UU perlindungan anak. biar proses revisi itu berjalan cepat diperlukan komitmen berssma dr pemerintah (Presiden & DPR) untuk menyeleselaikannya dg cepat. Apalagi dilihat ini kan unsur politiknya kecil.. seharusnya g masalah dan tdk perlu perdebatan pnjang.
BalasHapusIya mbak dyah, komitment paling penting, adalagi sebenarnya yang paling utama, jika dilihat dari sudut pandang crimologi, kehidupan sosial sangatlah berpengaruh pada tingkat kejahatan
HapusDifferential Association Theory, shutherland
Wah Pak Raid sedang mengembangkan sayapnya mnjdi pengamat politik.. keren2... yang dikatakan pak raid benar.. terbitnya perpu salah satunya adalah dlm ikhwal kegentingan.. jika dilihat dr poin tersebut kondisi indonesia terhadap kasus kekerasan anak adalah fenomena gunung es... yg sebenarnya dr dulu itu sdh banyak terjadi dan baru mencuat saat ini.. jd langkah yg hrs di ambil oleh pemerintah adalah melalukan revisi UU perlindungan anak. biar proses revisi itu berjalan cepat diperlukan komitmen berssma dr pemerintah (Presiden & DPR) untuk menyeleselaikannya dg cepat. Apalagi dilihat ini kan unsur politiknya kecil.. seharusnya g masalah dan tdk perlu perdebatan pnjang.
BalasHapusPerppu yang dikeluarkan Presiden bisa dibilang bersifat reaktif atas apa yang telah banyak terjadi (Kejahatan seksual). Salahkah bila disebut reaktif? menurut saya tidak. Karena memang sistem hukum yang ada di Indonesia membuatnya menjadi demikian. Sekarang yang perlu dilakukan setelah adanya Perppu itu ya sebuah instrumen hukum yang lebih bersifat preventif. Agar hukum bisa menjadi panglima (kalau kata Mbah Mochtar Kusumaatmadja) atau bisa jadi a tool of social engineering kalau kata Rosceu Pond.
BalasHapuspertama-tama saya panjatkan puja dan puji syukur karena dapat coment dari ente, hahah.
Hapusmemang tidak ada yang salah dengan perpu,karena itu merupakan hak soerang presiden, tapi ingat hak juga ada batasannya sehingga dideliver oleh MA atas dasar penafsiran UUD 1945. ini merupakan kelemahan dari pemerintah yang kurang peka, idealnya seperti yang disampaikan Resceu Pound bisa menjadi tools, namum perlu di ingat, sistem hukum yang kita adalah commmon law, dimana semua aturan harus diundangkan atau dikodifikasi dan tertulis, kelemahannya apabila hukum tertulis sudah tidak relevan, makan perlu untuk direvisi (diubah) atau diganti.
kaitannya dengan kejehatan seksual, oke kita semua sepakat dengan langkah preventif, apabila ingin mengedepankan langkah preventif tersebut dan memberikan efek jera, ya aturannya di ganti. bukan perpu.