Penerapan Hukum Diskrimintatif (Affirmative Actions) Dihadapkan Pada Asas Equality Before The Law *Pendapat Prof. Denny Dan Pak Janedjri M. Gaffar (Sekjen MK RI))
Hukum pada hakekat nya berisi tentang Hak dan Kewajiban, Hukum yang ditegakkan tiada lain untuk melindungi hak manusia yang telah di milikinya sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat (fundamental Right), hak untuk diperlalukan secara sama dihapan hukum (equality before the law) juga merupakan salah satu hak seseorang yang telah diterima secara universal sebagai salah satu prinsip utama suatu negara hukum.
Profesor. Denny Indrayana dalam artikelnya yang berjudul Hukum Harus Diskriminatif, mengatakan bahwa memang terkadang Hukum harus bersifat Dismikrinatif untuk tercapainya suatu keadilan keadilan.
Persamaan di hadapan hukum justru mensyaratkan perlakuan hukum yang berbeda kepada setiap orang, dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Jelasnya, hukum tidak jarang harus diperlakukan berbeda, diberlakukan diskriminatif, justru agar hukum itu menjadi adil. Itulah yang dikenal dengan konsep diskriminasi positif (affirmative actions). Hukum yang berlaku sama bagi setiap orang, meskipun dalam situasi dan kondisi yang berbeda, justru cenderung menjadi tidak adil.(http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/502650/1/)
Persamaan di hadapan hukum justru mensyaratkan perlakuan hukum yang berbeda kepada setiap orang, dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Jelasnya, hukum tidak jarang harus diperlakukan berbeda, diberlakukan diskriminatif, justru agar hukum itu menjadi adil. Itulah yang dikenal dengan konsep diskriminasi positif (affirmative actions).
Hukum yang berlaku sama bagi setiap orang, meskipun dalam situasi dan kondisi yang berbeda, justru cenderung menjadi tidak adil.
Dalam tulisan yang sama Prof Denny memberikan contoh Dalam dunia politik,
representasi perempuan di parlemen diberi persyaratan persentase tertentu. Syarat minimal tersebut tentunya tidak adil bagi kaum pria, tetapi justru diperlukan agar perwakilan perempuan dapat lebih banyak dan berdaya memperjuangkan kepentingan perempuan di parlemen.
Dalam dunia politik yang lain, ambang batas kepemilikan kursi di parlemen (parliamentary threshold) maupun syarat ambang batas pengusulan calon presiden (presidential threshold) dapat dipandang sebagai aturan yang diskriminatif bagi partai-partai kecil. Partai kecil yang memperoleh sedikit suara mungkin tidak mendapatkan kursi di parlemen atau mungkin tidak dapat mengusulkan calon presiden.
Namun, aturan ambang batas tersebut bukanlah diskriminasi yang salah. MK telah berulang kali memutuskan ambang batas demikian adalah diskriminasi yang tidak bertentangan dengan konstitusi. Itulah diskriminasi positif. dan Prof. Denny kembali menegaskan tentang hukum yang berlaku deskriminatif untuk memunculkan suati keadilan yaitu Dalam dunia ekonomi, contoh yang diberikan Prof. Denny ialah mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pernah menerapkan sistem ekonomi yang lebih berpihak kepada kelompok bumiputra.(http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/502650/1/)
hal-hal deskriminatif diataslah yang memunculkan rasa keadilan dan sekaligus memberikan perlindungan hak-hak fundamental setiap orang.
Namun dalam hal yang sama Jenedjri M Gaffar menambahkan bahwa dalam Kosntitusi kita, jaminan persamaan dihadapan hukum ditegaskan pada pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sedang kan jaminan perlindungan dari diskrimisai diatur dalam pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pernyataan persamaan di hadapan hukum mengandung konsekuensi tidak hanya setiap orang dalam "kondisi yang sama berhak atas perlindungan hukum yang sama "atau "terhadap orang yang melakukan tindakan pelanggaran hukum yang sama dikenakan ancaman hukuman yang sama," tetapi juga mengandung konsekuensi dalam proses penegakan hukum. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan hukum yang sama.(http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=503092&pop=1&page=0)
Hal ini diterjemahkan antara lain berupa kewajiban hakim mendengar dan memperlakukan para pihak secara seimbang (audi et alteram partem) serta hak yang sama untuk memperoleh keadilan (access to justice) melalui akses yang sama untuk memperoleh pembela umum (access to legal counsel). Tanpa ada persamaan di hadapan hukum, akan terjadi kesewenang- wenangan.(http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=503092&pop=1&page=0)
Perbedaan sudut pandang yang di kemukan kedua ahli hukum diatas menunjukan bahwa hukum memang tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja, namun hukum harus di lihat secara keseluruhan, namun pada hakekatnya penpadapat keduanya sama, cuman berbedapa pada sudut pandang dimana Prof. Denny memandang bahwa hukum memang terkadang memang harus bersifat diskriminatif namun hukum yang diskriminatif dalam sudut pandang Prof. Denny yang melihat hal ini tidak dalam proses namun dilihat dari suatu hasil atau putusan itu yang sudah diberlakukan, bahwa dengan keputusan itu ialah jika dilihat secara general bahwa keputusan itu sebenarnya bersifat diskriminatif namun dalam keputusan yang diskriminatif itu terdapat keadilan.
berbeda dengan sudut pandang Pak Janedjri M Gaffar, dalam penerapan asas persamaan di hadapan hukum memang harus dimaknai sebagai persamaan terhadap subjek dengan kondisi yang sama, dilihat dari kesuluran proses penegakan hukum itu sendiri, mulai dari proses, perlakuan hingga putusan semuanya harus diputuskan seadil-adilnya karena hakekat yang di pandang penting oleh Pak Janedjri M Gaffar ialah perlakuan seseorang harus dianggap sama, tidak memandang status apapun, kondisi apapun terhadap sumber yang sama.Sebaliknya, diskriminasi adalah perlakuan berbeda terhadap kondisi dan subjek yang sama.
hukum harus menjadi instrumen untuk mewujudkan persamaan melalui kebijakan affirmative actions. Hukum yang demikian sesungguhnya tidak dapat dikatakan sebagai hukum yang diskriminatif karena bukan memperlakukan berbeda terhadap yang sama,melainkan justru bersifat adil karena memperlakukan berbeda terhadap hal yang berbeda. Hukum ini juga bersifat pengecualian, dalam arti tidak dapat diperlakukan secara terus-menerus dan di semua tempat dan kondisi.
Tentu saja perbedaan perlakuan harus dihentikan pada saat sudah tercapai persamaan atau sudah terjadi perubahan kondisi dari subjek hukum tertentu. Pemberian kuota perempuan di parlemen misalnya tentu harus dihentikan karena menjadi diskriminatif negatif pada saat kondisi sosial sudah mengakui dan menempatkan perempuan sama dengan kaum pria.
Pemberian bantuan hukum terhadap orang tertentu juga harus dihentikan pada saat orang tersebut telah memiliki kekuatan untuk secara mandiri mengakses keadilan melalui jasa advokat. Prinsip persamaan di hadapan hukum dalam penegakan hukum juga tidak dapat dimaknai bahwa terhadap pelanggaran hukum yang sama harus selalu dijatuhi hukuman yang sama. Persamaan tidak boleh dimaknai hanya dari aspek normatif kategorial.
Proses memeriksa dan memutus perkara adalah proses menemukan fakta suatu peristiwa dan menerapkan norma terhadap fakta tersebut.Setiap peristiwa hukum memiliki latar kondisi dan karakteristik yang berbeda sehingga tidak selalu dijatuhi hukuman yang sama walaupun masuk dalam kategori delik yang sama. Latar kondisi dan karakteristik sangat penting karena menentukan tingkat kesalahan dan permakluman yang dapat diberikan.
Dengan demikian, penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap pelanggaran yang sama tidak dapat dikatakan sebagai hukum yang diskriminatif. Sama halnya dengan perbedaan pemberian remisi terhadap narapidana yang harus dilihat kasus per kasus sesuai peristiwa kejahatan yang dilakukan dan kondisi dari narapidana yang mengajukan itu sendiri.
Sebaliknya, hal itu wujud nyata dari prinsip persamaan di hadapan hukum untuk mencapai keadilan.Keadilan adalah memperlakukan secara sama terhadap hal yang sama, dan memperlakukan berbeda terhadap hal yang memang berbeda.(http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/index2.php?option=com_content&task=view&id=503092&pop=1&page=0)
*Sumber Koran Sindo
Komentar
Posting Komentar